Sabtu, 11 Desember 2010

Sistem Neurologis Bayi Baru Lahir

Sistem Neurologis
1. Perubahan Fisiologis Sistem Neurologis pada Bayi Baru Lahir
Pada saat lahir sistem saraf belum terintegrasi sempurna namun sudah cukup berkembang untuk bertahan dalam kehidupan ekstra uterin. Fungsi tubuh dan respon-respon yang diberikan sebagian besar dilakukan oleh pusat yang lebih rendah dari otak dan reflek-reflek dalam medulla spinalis. BBL baru dapat menjalankan fungsi pada tingkat batang otak. Kontrol saraf dari pusat yang lebih tinggi secara bertahap berkembang, membuat lebih memungkinkannya perilaku yang kompleks dan bertujuan. (Hamilton, 1995).
Kebanyakan fungsi neurologis berupa reflek primitif. Evaluasi reflek primitif dan tonus otot merupakan pengkajian perilaku saraf (neuro behavioral) pada neonatus. BBL memiliki banyak reflek yang primitif. Waktu, saat reflek BBL ini muncul dan menghilang, menunjukkan kematangan dan perkembangan sistem syaraf yang baik. Reflek yang sering ditemukan pada BBL normal adalah menghisap dan membuka mulut (rooting), menelan, menggenggam telapak tangan dan kaki, menjulurkan lidah, reflek moro, dll (Bobak, 2005).

Selain itu, sistem syaraf otonom sangat penting selama transisi, Karena saraf ini merangsang respirasi awal, membantu mempertahankan keseimbangan asam basa, dan mengatur sebagian kontrol suhu (Wong, 2009).
BBL cukup bulan dikenal sebagai mahluk yang reaktif, responsif, dan hidup. Perkembangan sensoris BBL dan kapasitas untuk melakukan interaksi sosial dan organisasi diri sangat jelas terlihat (Bobak, 2005).
Myelinisasi system saraf mengikuti hukum perkembangan cephalokaudal proksimodistal (kepala ke jari kaki-pusat ke perifer) dan berhubungan erat dengan kemampuan keterampilan motorik halus dan kasar yang tampak. Myelin diperlukan untuk transmisi cepat dan efisien pada sebagian impuls saraf sepanjang jalur neural. Traktus yang mengalami myelinisasi paling awal adalah traktus sensoris, serebral, dan ekstra pyramidal. Saraf ini menyebabkan pengindraan tajam pengecap, pembau, dan pendengaran pada BBL, begitu juga persepsi nyeri. Semua saraf kranial sudah ada dan mengalami myelinisasi, kecuali saraf opticus dan olfaktorius (Wong, 2009).
Fungsi sensoris BBL sudah sangat berkembang dan memiliki efek yang bermakna pada
pertumbuhan dan perkembangan, termasuk proses perlekatan (attachment).
a. Penglihatan
Pada saat lahir, struktur mata belum lengakap. Fovea sentralis belum berdiferensiasi sempurna dari macula. Otot siliar juga masih imatur, membatasi kemampuan mata untuk berakomodasi dan memfokuskan pada objek sepanjang waktu. Bayi dapat mencari dan mengikuti objek. Pupil bereaksi terhadap cahaya, reflek mengedip berespon terhadap rangsang minimal, dan reflek kornea dapat diaktivasi dengan sentuhan ringan. Kelenjar air mata biasanya mulai berfungsi sampai usia 2 – 4 minggu.
BBL memiliki kemampuan untuk memfokuskan penglihatan sementara pada objek yang terang atau bergerak yang berjarak 20 cm (8 inci) dan pada garis tengah lapang penglihatan. Kenyataanya, kemampuan bayi untuk melakukan fiksasi terhadap gerakan yang terkoordinasi lebih besar selama jam pertama kehidupan dibandingakan selama hari-hari berikutnya. Ketajaman penglihatan dilaporkan antara 20/100 dan 20/400, bergantung pada teknik pengukurannya.
Bayi juga memiliki kemampuan pemilihan visual : warna medium (kuning, hijau, merah jambu) dibandingakan warna terang (merah, orange, biru) atau warna remang : pola kontras hitam putih, terutama bentuk-bentuk geometris dan papan catur, objek besar dengan kompleksitas warna medium dibandingakan dengan objek kecil, kompleks, dan objek yang mengkilat dibandingakan buram.
b. Pendengaran
Begitu cairan amnion dialirkan keluar telinga, bayi mungkin telah memiliki tajam pendengaran yang sama dengan dewasa. Neonatus sudah dapat bereaksi terhadap suara keras sekitar 90 desible (dB) dengan reflek terkejut. Respon BBL terhadap suara frek. rendah dibandingkan frek. tinggi berbeda : suara yang rendah, seperti suara detak jantung, metronome, atau buaian, cenderung menurunkan aktivitas motorik dan menangis, sedangkan suara tinggi menimbulkan reaksi waspada. Sensitivitas awal terhadap suara manusia juga sudah ada, meskipun tidak spesifik terhadap percakapan. Misalnya, bayi berusia kurang dari 3 hari dapat membedakan suara ibunya dengan suara wanita lainnya. Ketika berusia 5 hari, bayi mampu membedakan antara cerita yang diceritakan ulang kepadanya selama trimester terakhir kehamilan oleh ibunya dan cerita yang sama yang diceritakan setelah kelahiran oleh wanita lain.
Telinga dalam dan tengah sangat besar saat lahir, tetapi kanalis eksternusnya kecil. Prosesus mastoideus dan bagian tulang kanalis eksternus belum berkembang. Konsekuensinya, selaku timpani dan saraf fasialis terletak sangat dekat ke permukaan dan sangat mudah rusak.
c. Penghidu
BBL bereaksi terhadap bau yang kuat seperti alkohohol atau cuka dengan menolehkan kepalanya. Bayi yang diberi ASI mampu menghidu ASI dan akan menangis mencari ibunya ketika payudara ibu sudah membengkak dan mulai merembes. Bayi juga mampu membedakan ASI dari ibunya dan ASI wanita lain dari baunya. Bau ibu dipercaya mempengaruhi proses keterikatan dan keberhasilan penyususan. Pencucian puting yang tidak perlu secara rutin dapat mengganggu keberhasilan pemberian ASI.
d. Pengecap
BBL memiliki kemampuan membedakan berbagai rasa. Berbagai tipe larutan mencetuskan berbagai reflek gusto – fasial yang berbeda. Larutan yang tidak berasa tidak akan mencetuskan ekspreisi fascial, larutan manis mencetuskan gerakan menghisap dan wajah yang puas, larutan masam menyebabkan pengerutan bibir, dan cairan pahit menghasilkan ekspresi kecewa dan marah. BBL lebih menyukai air glukosa dibandingkan air steril. Selama masa kanak awal kuncup pengecap terdistribusi terutama pada ujung lidah.
e. Perabaan
Pada saat lahir, bayi mampu mengindra sensasi taktil pada semua bagian tubuhnya, meskipun wajah (terutama mulut), tangan dan telapak kaki tampaknya yang paling sensitive. Semakin banyak domentasi yang menerangkan bahwa perabaan dan tepukan lembut pada punggung atau menggosok perut biasanya mencetuskan respon penenangan bayi. Akan tetapi, rangsang nyeri seperti tusukan jarum akan mencetuskan respon kemarahan.
Pertumbuhan otak setelah lahir mengikuti pola pertumbuhan cepat, yang dapat diprediksi selama periode bayi sampai awal masa kanak-kanak. Pertumbuhan ini menjadi lebih bertahap selama sisa dekade pertama dan minimal selama masa remaja. Pada akhir tahun pertama, pertumbuhan serebelum, yang dimulai pada usia kehamilan sekitar 30 minggu, berakhir. Mungkin inilah penyebab otak rentan terhadap trauma nutrisi dan trauma lain selama masa bayi (Bobak, 2005).
Otak memerlukan glukosa sebagai sumber energi dan suplai O2 dalam jumlah besar untuk proses metabolisme yang adekuat. Kebutuhan yang besar ini menandakan diperlukannya suatu pengkajian cermat tentang kemampuan bayi dalam mempertahankan kelancaran jalan nafas dan juga pengkajian kondisi-kondisi pernafdasan yang membutuhkan O2. Kebutuhan akan glukosa perlu dip[antau dengan cermat pada BBL yang mengkin mengalami episode hipoglikemia (Bobak, 2005).
Aktivitas motorik spontan dapat muncul dalam bentuk tremor sementara dimulut dan didagu, terutama sewaktu menangis, dan pada ekstremitas, terutama pada lengan dan tangan. Tremor ini normal akan tetapi, tremor persisten atau tremor yang mengenai seluruh tubuh dapat mengenai indikasi kondisi yang patologis. Gerakan tonik dan klonik yang mencolok serta kedutan otot wajah merupakan tanda konvulsi (kejang). Perlu dibedakan antara tremor normal dan tremor akibat hipoglikemia dan gangguan sistem saraf pusat (SSP), sehingga upaya perbaikan dapat dimulai sedini mungkin (Bobak, 2005).
Kontrol neurologi pada BBL, walaupun masih sangat terbatas, dapat ditemukan. Apabila BBL diletakkan dipermukaan yang keras dengan wajah yang mengahadap ke bawah, bayi akan memutar kepalanya kesamping untuk mempertahankan jalan nafas. Bayi juga akan berusaha mengangkat kepalanya supaya tetap sejajar dengan tubuhnya bila kedua lengan bayi ditarik keatas hingga kepala terangkat (Bobak, 2005).
2. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis pada anak pertama kali dapat dilakukan secara inspeksi dengan mengamati berbagai kelainan neurologis, seperti kejang; tremor/gemetaran (gerakan halus yang konstan); korea (gerakan involunter kasar, tanpa tujuan, cepat dan tersentak-sentak, serta tidak terkoordinasi); diplegia (kelumpuhan pada dua anggota gerak); paraplegia (kelumpuhan pada anggota gerak bawah); tetraplagia/parese (kelumpuhan pada keempat anggota gerak); hemiparese/plegi (kelumpuhan pada sisi tubuh atau anggota gerak yang dibatasi garis tengah di daerah tulang belakang).
Pemeriksaan kedua adalah pemeriksaan refleks. Pada pemeriksaan ini yang dapat diperiksa antara lain sebagai berikut:
1. Refleks superficial, dengan cara menggores kulit abdomen dengan empat goresan yang membentuk segiempat dibawah xifoid (di atas simpisis).
2. Refleks tendon dalam, dengan mengetuk menggunakan hammer pada tendon biseps, trisep, patella, dan Achilles. Penilaiannya adalah jika pada bisep (terjadi fleksi sendi siku), trisep (terjadi ekstensi sendi siku), patella (terjadi ekstensi sendi lutut), dan pada achilles (terjadi fleksi plantar kaki). Apabila hiperefleksi berarti ada kelainan pada upper motor neuron dan apabila hiporefleks berarti terjadi kelainan pada lower motor neuron.
3. Refleks patologis dapat menilai adanya refleks Babinzki dengan cara menggores permukaan plantar kaki dengan alat yang sedikit runcing, hasilnya positif apabila terjadi reaksi ekstensi ibu jari.
Pemeriksaan ketiga adalah pemeriksaan rangsang meningeal, antara lain kaku kuduk. Cara melakukannya adalah pasien diatur posisi telentang kemudian leher ditekuk, apabila terdapat tahanan dagu dan dagu tidak menempel atau mengenai bagian dada maka disebut kaku kuduk (psositif). Brudzinski I diperiksa dengan cara pasien diatur dalam posisi telentang, meletakan satu tangan dibawah pasien, kemudian tangan lain diletakan di dada untuk mencegah badan terangkat, kemudian kepala difleksikan ke dada. Adanya rangsangan meningeal apabila kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan lutut. Brudzinski II dengan cara pasien diatur telentang , difleksikan secara pasif tungkai atas pada sendi panggul, ikuti fleksi tungkai lainnya. Apabila sendi lutut lainnya dalam keadaan ekstensi, maka terdapat tanda meningeal dan tanda Kernig. Dengan posisi dalam keadaan telentang, fleksikan tungkai atas tegak lurus, kemudian luruskan tungkai bawah dapat membentuk sudut 135 derajat terhadap tungkai atas.
Pemeriksaan terakhir adalah pemeriksaan kekuatan dan tonus dengan cara menilai adanya kekuatan tonus otot pada bagian ekstremitas. Caranya dengan memberi tahanan, mengangkat atau menggerakan bagian otot yang akan dinilai dengan ketentuan sebagaimana tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Kekuatan Otot (Tonus Otot)
Nilai Kekuatan Otot (tonus Otot) Keterangan
0 (0%) Paralisis, tidak ada kontraksi otot sama sekali
1 (10%) Terlihat atau teraba getaran kontraksi otot, tetapi tidak ada gerakan anggota gerak sama sekali
2 (25%) Dapat menggerakan anggota gerak, tetapi tidak kuat menahan berat dan tidak dapat melawan tekanan pemeriksa
3 (50%) Dapat menggerakan anggota gerak untuk menahan berat, tetapi dapat menggerakan anggota badan untuk melawan tekanan pemeriksa
4 (75%) Dapat menggerakan sendi dengan aktif untuk menahan berat dan melawan tekanan secara stimultan
5 (100%) Normal

(Allen, 1991)


Daftar Pustaka
Allen, C.V. 1991. Memahami Proses Perawatan dengan Pendekatan Latihan. Diterjemahkan oleh Cristantie Effendi. Jakarta: EGC.
Bobak, Irena M. dkk. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC.
Hamilton, Persis M. 1995. Dasar- dasar Kerperawatan Maternitas. Jakarta: EGC.
Hidayat, A.A. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Kebidanan. Jakarta: Salemba Madika.
Wong, Donna L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Volume 1. Jakarta: EGC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar